Materi kali ini adalah istinjak dan adab buang hajat dari Matan Taqrib atau Matan Abu Syuja’.
Seputar Istinjak
Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib menyebutkan,
والاِسْتِنْجَاءُ وَاجِبٌ مِنَ البَوْلِ وَالغَائِطِ وَالأَفْضَلُ أَنْ يَسْتَنْجِيَ بِالأَحْجَارِ ثُمَّ يُتْبِعُهَا بِالماَءِ وَيَجُوْزُ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى الماَءِ أَوْ عَلَى ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ يُنْقِي بِهِنَّ المحَلَّ فَإِذَا أَرَادَ الاِقْتِصَارَ عَلَى أَحَدِهِمَا فَالماَءُ أَفْضَلُ.
Istinjak (mengeluarkan najis yang keluar dari farji) itu wajib dilakukan setelah buang air kecil maupun air besar.
Cara istinjak yang paling utama adalah dengan menggunakan beberapa buah batu terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan air. Boleh beristinjak hanya dengan air atau dengan tiga buah batu untuk menyucikan tempat keluarnya kotoran. Jika ingin memilih hanya salah satu dari keduanya, maka beristinjak dengan air itu lebih utama.
Faedah dari Fath Al-Qarib:
- Istinjak berasal dari najawtu asy-syai’a, saya memotong sesuatu. Yang terjadi pada istinjak adalah orang yang beristinjak itu memotong dengannya kotoran dari dirinya.
- Hukum istinjak itu wajib.
- Istinjak itu dengan air atau batu atau yang berfungsi sama dengannya yaitu segala yang memiliki sifat: (1) jaamid (padat), (2) thahir (suci), (3) qaali’ (yang dapat mengangkat najis), (4) ghairu muhtaromin (tidak dimuliakan).
- Yang utama adalah beristinjak dengan beberapa batu kemudian diikuti dengan air. Batu yang digunakan adalah tiga masahaat (usapan) walaupun dengan tiga ujung dari satu batu.
- Istinjak juga bisa dengan menggunakan air saja, atau tiga batu saja jika dapat membersihkan tempat najis. Bila tidak berhasil dengan tiga batu, pokoknya ditambah sampai bersih. Lalu disunnahkan setelah itu mengulangi tiga kali lagi.
- Jika memilih antara air ataukah batu, menggunakan air lebih utama, karena air itu menghilangkan ‘ain najasah (bentuk najis) dan bekasnya.
- Syarat istinjak dengan batu: (1) benda yang najis tidak kering, (2) najis yang keluar tidak berpindah dari tempat keluarnya, (3) tidak bercampur dengan najis lain. Jika tidak memenuhi syarat ini, hendaklah menggunakan air untuk istinjak.
Adab Buang Hajat
Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib menyebutkan,
وَيَجْتَنِبُ اسْتِقْبَالَ القِبْلَةِ وَاسْتِدْبَارَهَا فِي الصَّحْرَاءِ وَيَجْتَنِبُ البَوْلَ وَالغَائِطَ فِي الماَءِ الرَّاكِدِ وَتَحْتَ الشَّجَرَةِ المثْمِرَةِ وَفِي الطَّرِيْقِ وَالظِّلِّ وَالثَّقْبِ وَلاَ يَتَكَلَّمُ عَلَى البَوْلِ وَلاَ يَسْتَقْبِلُ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ وَلاَ يَسْتَدْبِرُهُمَا.
Tidak boleh membuang hajat di tempat terbuka dengan menghadap kiblat atau membelakanginya. Tidak boleh membuang air kecil maupun air besar di air yang menggenang, di bawah pohon yang berbuah, di jalanan, dan tempat orang berteduh serta pada lubang.
Tidak boleh berbicara ketika buang air kecil maupun air besar.
Faedah dari Fath Al-Qarib:
- Adab buang hajat adalah tidak boleh menghadap kiblat yaitu Kabah dan tidak membelakanginya ketika berada di shahraa’ (tempat terbuka) yaitu tempat yang antara orang yang buang hajat dan kiblat itu tak ada penghalang (saatir), atau ada penghalang (saatir) yang tingginya tidak sampai 2/3 dzira’, atau sampai 2/3 dzira’ tetapi jauh darinya yang jaraknya lebih dari tiga dzira’.[1]
- Buang hajat di dalam bangunan sama hukumnya dengan shahra’ dengan syarat yang disebutkan di atas.
- Bangunan yang dipakai khusus untuk buang hajat, maka tidak terhalang buang hajat di tempat tersebut secara mutlak, baik ada saatir (penghalang) atau tidak, baik telah mencapai 2/3 dzira’ ataukah tidak.
- Menghadap atau membelakangi Baitul Maqdis berbeda dengan bahasan menghadap kiblat atau Kabah. Hukum menghadap atau membelakanginya dulu adalah makruh, tetapi saat ini tidaklah makruh.
- Ketika buang hajat baik buang air kecil maupun buang air besar, hendaklah menghindari air yang tergenang (baik yang jumlahnya qalil dan katsir). Adapun air yang mengalir yang jumlahnya qalil(kurang dari dua qullah), maka dimakruhkan buang hajat di tempat tersebut. Sedangkan buang hajat di air yang mengalir dalam jumlah yang katsir (telah mencapai dua qullah atau lebih), al-awla (lebih baik) dihindari.
- Imam Nawawi menyatakan haram buang hajat pada air qalil yang mengalir atau yang tergenang.
Tempat yang dilarang buang hajat
- bawah pohon yang berbuah waktu berbuah dan waktu tidak berbuah,
- jalan yang dilalui orang,
- tempat bernaung di waktu musim panas dan di tempat yang kena terik matahari di waktu musim dingin,
- tempat yang berlubang, yaitu rumah di dalam tanah. Semisal ini adalah dilarang buang hajat di gua karena bisa jadi ada hewan yang lemah yang tersakiti atau hewan yang lebih kuat yang menyakiti kita, atau ada hewan yang muhtarom (dimuliakan).
- tidak berbicara sebagai bentuk adab bagi orang yang buang hajat selain keadaan darurat (dharuroh). Keadaan darurat seperti melihat ular yang ingin menggigit manusia, tidak makruh untuk berbicara.
- dimakruhkan menghadap matahari dan bulan, juga dimakruhkan membelakanginya ketika buang hajat. Namun pendapat terkuat, hal ini tidaklah makruh (yaitu masih boleh) menurut Imam Nawawi dalam kitab Ar-Raudhah.
Referensi:
- Fath Al-Qarib Al-Mujib. Al-‘Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi. Penerbit Thaha Semarang.
- Hasyiyah Al-Baijuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibnu Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Cetakan kedua, Tahun 1441 H. Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri. Penerbit Dar Al-Minhaj.
[1] Satu dzira’ sekitar 46,2 cm atau bisa didekati dengan setengah meter
Baca juga:
—
Kamis sore, 25 Jumadal Akhirah 1443 H, 27 Januari 2022
@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul
Artikel Rumaysho.Com